Jumat, 21 Mei 2010

Hukum Onani (Coli) dalam Islam

Dalam kamus bahasa Arab, kata "istimna" atau "Jildu" dan "Umairah"
berarti mengeluarkan sperma dengan tangannya, kemudian Istimna, apabila
sering dilakukan akan menjadikannya sebagai adat dan kebiasaan bagi
yang melakukannya, sehingga lahirlah makna baru yaitu "Al-’Adah
As-Sirriyah" yang artinya adat atau kebiasaan yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi.

Onani, masturbasi, coli, main sabun, dan lain-lain, merupakan satu istilah
untuk menyatakan kegiatan yg dilakukan seseorang yg masih muda dalam
memenuhi kebutuhan seksualnya, dengan menggunakan tangan maupun dengan menambahkan alat bantu
berupa sabun atau benda-benda lain, sehingga dengannya dia bisa mengeluarkan
mani dan membuat dirinya (lebih) tenang.

Istilah Onani sendiri, berasal
dari kata Onan, salah seorang anak dari Judas, cucu dari Jacob. Dalam
salah satu cerita di Injil, diceritakan bahwa Onan disuruh oleh ayahnya
(Judas) untuk bersetubuh dengan istri kakaknya, namun Onan tidak bisa
melakukannya sehingga saat mencapai puncaknya, dia membuang
spermanya (mani) di luar (di kemudian hari tindakan ini dikenal dg
istilah azl (dalam bahasa Arab) atau coitus interruptus (dalam istilah
kedokterannya). Dari cerita Onan ini terdapat dua versi. Ada yg
berpendapat bahwa Onan berhubungan badan dengan istri
kakaknya lalu membuang maninya di luar. Dan ada juga yang menyebutkan
bahwa Onan tidak
menyetubuhi istri kakaknya, malainkan ia melakukan pemuasan diri
sendiri (coli) karena ketidak beraniannya untuk menyetubuhi sedangkan
birahi di dada semakin memuncak, sehingga dari perbuatan Onan ini
lahirlah istilah Onani sebagai penisbahan terhadap perbuatannya.

Pandangan Islam tentang Onani

Bila kita membaca buku-buku fiqh dan fatawa para ulama, akan dijumpai
bahwa mayoritas ulama seperti Syafi’i, Maliki, Ibnu Taimiyah, Bin Baz,
Yusuf Qardhawi dan lainnya mengharamkannya, dengan menggunakan dalil
firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, yang artinya:"Dan orang-orang yang
memelihara kemaluan mereka kecuali terhadap
isterinya tau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela.
Tetapi barangsiapa berkehendak selain dari yang demikian itu, maka
mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas"[Al-Mu'minun : 5-7].

Ayat ini menerangkan bahawa
seseorang yang menjaga kehormatan diri hanya akan melakukan hubungan seksual
bersama isteri-isterinya atau hamba-hambanya yang sudah dinikahi. Hubungan
seksual seperti ini adalah suatu perbuatan yang baik, tidak tercela di sisi
agama. Akan tetapi jikalau seseorang itu mencoba mencari kepuasan seksual dengan
cara-cara selain bersama pasangannya yang sah, seperti zina, pelacuran, onani
atau persetubuhan dengan binatang, maka itu dipandang sebagai sesuatu yang
melampaui batas dan salah lagi berdosa besar, karena melakukannya bukan pada tempatnya. Demikian ringkas
penerangan Imam as-Shafie dan Imam Malik apabila mereka ditanya mengenai hukum
onani.


Selain ayat di atas, para
ulama juga menggunakan dalil dari hadis Nabi SAW, yang artinya:"Wahai
sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai
kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan
mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum
mampu hendakanya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya". Pada
hadits tadi Rasulullah Shallallahu �alaihi wa sallam menyebutkan dua
hal, yaitu :Pertama, Segera menikah bagi yang mampu. Kedua, Meredam
nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu
menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan.

Shah Waliullah Dahlawi menerangkan: Ketika air mani keluar atau muncrat
dengan banyak, ia juga akan mempengaruhi fikiran manusia. Oleh sebab
itu, seorang pemuda akan mulai menaruh perhatian terhadap wanita cantik
dan hati mereka mulai terpaut kepadanya. Faktor ini juga mempengaruhi
alat jantinanya yang sering meminta disetubuhi menyebabkan desakan
lebih menekan jiwa dan keinginan untuk melegakan syahwatnya menjadi
kenyataan dengan berbagai bentuk. Dalam hal ini seorang bujang akan
terdorong untuk melakukan zina. Dengan perbuatan tersebut moralnya
mulai rusak dan akhirnya dia akan tercebur kepada perbuatan-perbuatan
yang lebih merusak.


Melakukan onani secara
keseringan juga banyak membawa mudharat kepada kesehatan dan seseorang
yang membiasakan diri dengan onani akan mengalami kelemahan pada badan,
anggota tubuh yang tergetar-getar atau terkaku, penglihatan yang kabur,
perasaan berdebar-debar dan kesibukan fikiran yang tidak menentu.
Kajian perubatan juga membuktikan bahawa kekerapan melakukan onani akan
memberi dampak negatif kepada kemampuan seseorang untuk menghasilkan
sperma yang sehat dan cukup kadarnya dalam jangka masa panjang. Ini
akan menghalangi seseorang dalam menghasilkan zuriat-zuriat bersama
pasangan hidupnya bahkan lebih dari itu, mengakibatkan inpotensi
seksual dalam umur yang masih muda. Bahkan ada sebagian ulama yang
menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya dikumpulkan
bahaya-bahaya kebiasan buruk tersebut.

Pendapat yang membolehkan

Dari hasil bacaan, kebanyakan hukum pengharamannya itu tertuju
pada pemuda yang belum menikah tanpa melihat orang yang telah menikah
yang tinggal berjauhan (long distance), yang mana menurut saya, Onani
atau masturbasi bagi mereka termasuk ke dalam kategori ayat yang
dijadikan sebagai dalil pengharamannya yaitu sebagai pengaplikasian
dari memelihara kemaluan mereka agar terhindar dari hal-hal yang lebih
merusak. Karena orang yang pernah merasakan nikmatnya bersetubuh akan
lebih besar kemungkinannya untuk merasakan yang lain, berbeda dengan
orang yang belum pernah, dan hal ini sesuai dengan kaedah ushul fiqh
yang menyatakan bahwa:"Dibolehkan melakukan bahaya yang lebih ringan
supaya dapat dihindari bahaya yang lebih berat". Dan akan ditemukan
pula hukum yang membolehkan onani pun, tertuju pada remaja dan pemuda
yang belum mampu untuk menikah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
masturbasi yang dilakukan oleh orang yang telah menikah adalah boleh.

Adapun hukum yang membolehkan onani bagi remaja yang belum menikah,
dapat dilihat dari pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan bahwa
sperma atau mani adalah benda atau barang lebih yang ada pada tubuh
yang mana boleh dikeluarkan sebagaimana halnya memotong dan
menghilangkan daging lebih dari tubuh. Dan pendapat ini diperkuat oleh
Ibnu Hazm. Akan tetapi, kondisi ini diperketat dengan syarat-syarat
yang ditetapkan oleh ulama-ulama Hanafiah dan fuqaha hanbali, yaitu:
Takut melakukan zina, Tidak mampu untuk kawin (nikah) dan tidaklah
menjadi kebiasaan serta adat.

Dengan kata lain, dengan dalil dari Imam Ahmad ini, onani boleh
dilakukan apabila suatu ketika insting (birahi) itu memuncak dan
dikhawatirkan bisa membuat yang bersangkutan jmelakukan hal yg haram.
Misalnya, seorang pemuda yg sedang belajar di luar negeri, karena
lingkungan yang terlalu bebas baginya (dibandingkan dengan kondisi
asalnya) akibatnya dia sering merasakan instingnya memuncak. Daripada
dia melakukan perbuatan zina mendingan onani, maka dalam kasus ini dia
diperbolehkan onani.

Namun apa yang terbaik ialah apa yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW
terhadap pemuda yang tidak mampu untuk kawin, yaitu hendaklah dia
memperbanyakkan puasa, di mana puasa itu dapat mendidik keinginan,
mengajar kesabaran dan menguatkan takwa serta muraqabah kepada Allah
Taala di dalam diri seorang muslim. Sebagaimana sabdanya:"Wahai
sekalian pemuda! Barangsiapa di antara kamu mempunyai kemampuan, maka
kawinlah, karen ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan,
tetapi barangsiapa yang tidak berkemampuan, maka hendaklah dia berpuasa
karena puasa itu baginya merupakan pelindung." (HR Bukari).