Minggu, 23 Mei 2010

KAWIN PAKSA

Siti Nurbaya adalah legenda kawin paksa yang hingga saat ini masih saja diperdebatkan, tidak heran jika sebagian orientalis menuding bahwa sumber adanya kawin paksa adalah berasal dari islam, padahal berabad-abad sebelum datangnya islam hal tersebut sudah sering kali terjadi. Bukanlah tidak benar tudingan yang mereka lontarkan karena hal itu pun disebabkan oleh kekeliruan penempatan hak dan kewajiban yang dapat dijadikan sebagai faktor utama munculnya kawin paksa, antara lain :

1. Kekeliruan dalam menempatkan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dan anak terhadap orang tuanya yang mana sering kali rancu dalam penerapannya sehingga hak kadang dijadikan sebagai kewajiban dan kewajiban dijadikan sebagai hak bahkan kadang pula menuntut akan kewajiban, lupa dan tidak menghiraukan akan hak-hak orang lain dan sebaliknya.

2. Restu dijadikan sebagai kewajiban mutlak orang tua dalam menentukan pasangan anaknya. Dalam islam sendiri, salah satu syarat sahnya nikah adalah adanya wali nikah di mana yang berhak menjadi wali secara prioritas adalah orang tuanya yang dalam hal ini adalah ayah. Disyaratkannya wali dalam pernikahan menunjukkan bahwa seorang anak khususnya anak perempuan haruslah mendapatkan restu dan persetujuan orang tua, tanpa restu orang tua yang berimplikasi pada keengganan untuk menjadi wali dalam pernikahan maka akan berakibat tidak sahnya pernikahan yang dilaksanakan. Hal ini dipertegas dalam hadits dimana Rasulullah SAW bersabada :”Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan hadirnya wali”, (HR Daruquthni dan Ibnu Habban). Dalam hadits yang lain diriwayatkan dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda :”Wanita mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal”,(HR Ahmad). Hadits di atas menunjukkan bahwa restu bukanlah kewajiban mutlak orang tua dalam menentukan pilihan anaknya.

3. Adanya pemikiran bahwa orang tua hanya akan memberikan yang terbaik bagi anaknya, dan tak akan pernah melihat anaknya terlantar maupun disakiti oleh orang lain yang membuat mereka terlalu memaksakan kehendak mereka sendiri tanpa menghiraukan perasaan anaknya yang tanpa sadar mereka telah dengan tidak sengaja melukai dan menyakiti hati anaknya.

Pandangan Islam Terhadap Kawin Paksa

Islam memberikan kesamaan hak terhadap laki-laki dan perempuan dalam memilih pendamping hidup masing-masing, dan islam tidak pernah memberikan power berupa hak maupun kewajiban kepada orang tua untuk memaksa anaknya dalam menikah, melainkan islam memberikan suatu peran bagi orang tua dalam berlakon sebagai penasehat, pemberi arahan dan petunjuk dalam masalah memilih calon pasangan anaknya dan tidak berhak orang tua memaksa anaknya baik laki-laki maupun perempuan untuk menikah dengan orang yang tidak mereka ingini atau bukan pilihan mereka.

Nikah adalah keistimewaan dan masalah pribadi setiap orang, sehingga pemaksaan orang tua atau salah satu orang tua terhadap anaknya untuk nikah dengan orang yang tidak diinginkannya hukumnya adalah haram secara Syar’i, karena itu merupakan perbuatan dzalim dan melanggar hak-hak orang lain. Wanita dalam islam mempunyai kebebasan mutlak dalam menerima atau menolak orang yang datang mempersuntingnya sehingga orang tua tidak mempunyai hak apalagi kewajiban dalam memaksanya karena kehidupan berumah-tangga tidak akan berjalan mulus bahkan akan merusak pernikahan apabila pernikahan tersebut didasari oleh paksaan dan kepura-puraan.

Telah banyak dalil-dalil dan fakta-fakta yang menunjukkan pengharamannya dalam islam yang mana telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW baik secara Qawli maupun Fi’ly sebagai bantahan terhadap aturan-aturan yang ada pada zaman jahiliah berupa diskriminasi terhadap wanita dalam masalah pernikahan, sehingga Rasulullah menetapkan suatu ketetapan hukum tentang keberadaan hak seorang wanita dalam menentukan pasangan hidupnya, serta membatalkan hukum suatu perkawinan yang dilandasi oleh pemaksaan dan keterpaksaan meskipun yang memaksa dalam hal ini adalah seorang ayah. Hal ini juga menunjukkan penyalahan terhadap adat istiadat orang-orang arab pada saat itu, sebagai ujian bagi mereka dalam menerima syariat islam yang sangat memuliakan wanita dan menjunjung tinggi hak-hak wanita dalam memilih pasangannya. Sebagaimana dalam hadits-hadits di bawah ini:

1. Dalam musnad Ahmad jilid 2 hal:434 dan juga dalam Shahih Bukhari jilid 5 Hal:1974 dan dalam Shahih Muslim jilid 2 Hal:1036, Rasulullah SAW bersabda:”Janganlah mengawinkan anak wanita (perawan) sehingga kamu meminta izin dan mendapat persetujuan darinya, sahabat bertanya : bagaimanakah tanda setujuanya, Rasul menjawab:”diamnya” adalah setujunya.

2. Dalam musnad Ahmad, jilid 1, Hal:117 dan Sunan Abi Daud jilid 2,Hal:232 dan Sunan Ibnu Majah jilid 1,Hal:603. Diriwayatkan bahwa seorang wanita telah datang mengadu kepada Rasulullah SAW akan perihal ayahnya yang memaksanya kawin dengan orang yang tidak diinginkannya. Maka Rasul menjawab La Nikaha Lahu”.

3. Dalam Al Kubra diriwatkan oleh Nasai bahwa seorang ayah telah memaksa anaknya untuk menikah, hal tersebut diadukan kepada Rasulullah SAW, maka Rasul menjawab La Nikaha Lahu Inkihi Ma Syi’ta, tidak sah nikahnya, kawinilah yang kamu kehendaki. 4. Dalam I’lam Al Muqiin oleh Ibnu Qayyim jilid 4, Hal:260-261. Seorang wanita telah mengadu kepada Rasulullah tentang ayahnya yang memaksanya untuk menikah dengan orang yang tidak diinginkannya. Maka Rasulullah menghampiri ayahnya dan menyuruhnya untuk meminta izin dan persetujuan dari sang anak.

Islam sangat memperhatikan masalah memilih pasang suami dan istri yang pada hakekatnya adalah memperhatikan dasar-dasar terbentuknya suatu keluarga yang sakinah, dimana dumulai dengan pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai keinginan dan untuk mewujudkannya haruslah dibutuhkan pengertian antara keduanya.

Dengan demikian, Tudingan sebagian orientalis tadi ternyata salah, karena dalam islam sendiri menentang adanya kawin paksa atau dengan kata lain kawin paksa hukumnya adalah haram di dalam islam. Sedangkan sedikit kebenaran tudingan tersebut karena berdasarkan pengglobslisasian yang berlebihan terhadap hasil penerapan dalam kehidupan beragama sebagian orang muslim tanpa melihat bagaimana islam itu sendiri, ibarat mencicipi buah tanpa mengetahui buah apa yang mereka makan dan bagai mana pohon dari buah tersebut.